MedSos : Paradok's Silaturrahim
Dengan bantuan situs-situs di dunia virtual ini, orang ‘merasa’ didekatkan satu sama lain. Mereka merasa dekat dengan teman maupun keluarga, walaupun dipisahkan oleh jarak dan waktu. Para aktivis mahasiwa dan sosial bahkan menggunakan situs-situs ini untuk menyebarkan misi dan pandangan mereka. Namun yang menggelitik batin saya untuk bertanya, apakah hubungan yang diciptakan melalui situs-situs dunia virtual ini ‘sungguh’ merupakan sebuah hubungan yang ideal dan bermutu ?
Silaturahim Semu
Kita sering melihat orang-orang berkumpul di suatu tempat, namun mereka sibuk sendiri dengan gadged masing-masing. Mereka terkesan bersama, tetapi sesungguhnya tidak . Mereka dekat, namun sejatinya jauh. Badan mereka di tempat yang sama. Namun, ‘fikiran’ mereka terpisah ribuan, bahkan ratusan ribu kilo meter.
Komunitas di dunia sehari-hari terpisah, ketika justru komunitas di dunia virtual bertumbuh. Orang lebih nyaman dengan layar komputer, daripada dengan wajah temannya, atau ‘justru’ keluarganya. Komunikasi pun menjadi sedemikian dangkal, karena terbatas pada beberapa potong kalimat di layar komputer ataupun telepon genggam yang kerap kali ‘justru’ menciptakan kesalahpahaman. Gerak tubuh dan mimik wajah saat berinteraksi atau Muwajahah –pinjam idiom Islam-- yang merupakan bagian penting dari komunikasi antar manusia, kini terlupakan.
Situs-situs di dunia virtual ini, yang juga disebut sebagai jaringan sosial, adalah bentuk hubungan yang memisahkan. Mereka menciptakan hubungan semu yang justru menghancurkan hubungan antar manusia yang sejati. Mereka justru memecah hubungan antar manusia. Mereka menjadikan hubungan antar manusia menjadi sedemikian dangkal dan, seringkali, penuh kepalsuan serta kebohongan.
Yang tercipta kemudian adalah keterputusan antar manusia. Komunikasi sejati digantikan dengan komunikasi palsu dan semu. Ketidakpedulian pun tercipta. Orang lebih sibuk mengejar gosip terbaru, daripada memikirkan tantangan-tantangan kehidupan bersama.
Orang lalu mengalami pengalihan isu secara terus menerus. Orang lebih sibuk menyunting foto makanan terbaru, daripada bekerja sama untuk mengurangi kemiskinandan ketidakadilan di berbagai belahan dunia. Orang lebih terpikat pada barang-barang elektronik terbaru, daripada perang dan penderitaan yang diderita oleh tetangganya. Orang tergeser dari hal-hal penting dan substansial dalam kehidupan,untuk kemudian digiring masuk seperti (maaf) kambing ke dalam ranah (pen)bod*h(an) dan pendangkalan dalam bentuk konsumsi tanpa batas.
SOLIDARITAS pun menjadi kata-kata yang hampir punah. Masyarakat mengalami atomisasidan distraksi tanpa henti. Komunitas-komunitas sejati untuk menggiring perubahan terpecah. Komunitas-komunitas gosip dan pemuja barang-barang konsumsi bertumbuh subur, bagaikan jamur di musim hujan. Jika solidaritas mati, maka kerja sama antar manusia untuk mengatasi beragam tantangan bersama pun juga pada akhirnya akan mati.
Masalah-masalah baru tercipta. Kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin di berbagai belahan dunia kini semakin besar. Gerak korporasi rakus di berbagai belahan dunia kini seolah tanpa kontrol. Tak terasa, umat manusia kini bergerak dengan gembira sekaligus tul*lmenuju kehancurannya sendiri, tanpa ia sadari.
(meng)Ignore Media Sosial
Ketika pola komunikasi antar manusia menjadi dangkal dan palsu, maka manusia-manusia yang berkembang dalam pola komunikasi semacam itu pun akan menjadi dangkal dan palsu. Maka tidak ada kemungkinan lain, (peng)ignore(an) atau memutus sementara dari ramainya situs-situs jaringan sosial yang sudah senyatanya penyebab dari pendangkalan adalah keniscayaan. Agar supaya kita bisa membangun komunikasi yang sejati.
Lebih jauh, kita harus kembali membangun Silaturahim yang merupakan jaringan sejati antar sesama manusia. Karena dalam silaturahim ada Sorot mata, gerak tubuh, artikulasi suara, mimik wajah, dst. Yang akan melahirkan komnunikasi efektif dan akan lebih berkurang degaradsi maknanya. Terlebih Islam mengajarkan bahwa berkah dari silaturahim ini ber’selaksa-selaksa banyak, oleh karenanya kita sangat di anjurkan untuk terus bersilatrahim terus-menerus satu sama lain agar supaya Allah juga terus menambah berkah-Nya kepada kita.
Melepaskan diri dari media sosial yang seringkali menipu dan men’dangkal’kan membuat kita berjarak dari mainstrem konspirasi global. Jarak akan mendorong refleksidan analisis yang lebih mendalam. Dari sini akan tercipta kebijaksanaan. Kebijaksanaan membantu kita secara kritis memilah beragam informasi yang ada, dan membuat keputusan terbaik dari segala kemungkinan yang ada.
Pada akhirnya, bukankah hidup akan menjadi begitu sayang, jika ‘hanya’ diisi dengan copy-paste quote, konsumsi tanpa batas, dan berita-berita penuh kebohongan belaka? Padahal mas saya Noe-letto (ngaku-ngaku he he) sudah ‘mewanti-wanti’ dalam syairnya –Yang Kusebut Sayang— bahwa, Hidup terlalu singkat, untuk tak berbuat.. Hidup terlalu Indah, untuk tak berubah.. [ ]
Yang kusebut sayang.. Kau tak menghilang, Ketika sedang sepi Yang kusebut sayang.. Mengisi ruang hati, yang sedang sunyi.
Yang kusebut sayang – Noe(letto)
Iklan ada di sini
Komentar