Menjilat Madu di atas Pisau

   Makanan enak itu membuat kenyang. Ratusan rasa menari di lidah. Nikmatnya sesaat. Harganya mahal, yakni uang banyak keluar, dan rasa berat di seluruh tubuh, akibat kenyang yang berlebihan.

 Berpesta bersama teman tentu menyenangkan. Apalagi, jika kita berpesta semalam suntuk dengan ditemani makanan enak, maupun alkohol. Namun, di pagi hari, ada harga yang harus dibayar. Sakit kepala dan perut mual biasanya akan datang berkunjung.

  Gesekan badan dengan kekasih itu menggairahkan. Kenikmatan puncak dari berhubungan badan itu pun dirindukan. Hanya beberapa saat, lalu lelah datang mengetuk. Jika bercinta dilakukan tanpa komitmen dan rasa yang sejati, rasa bersalah juga kerap berkunjung.

Madu Berdarah

  Itulah ciri dari kenikmatan badan. Ada harga yang harus dibayar setelahnya. Kerap kali, harga itu sangat mahal, sehingga menggiring kita pada penderitaan. Ini seperti menjilat madu di atas pisau tajam: manis tapi berdarah-darah dan penuh rasa sakit.

   Ada kecanduan yang meminta untuk dipenuhi. Jika tidak terpenuhi, penderitaan muncul di batin dan badan. Pola ini sudah terjadi berulang kali. Namun, kita sering lupa, dan jatuh pada lubang yang serupa.

   Awalnya adalah keinginan. Jika ia tak terwujud, derita datang. Jika ia terwujud, kerakusan datang. Orang ingin lagi, karena ia sudah kecanduan. Inilah ciri batin yang tak terlatih.

    Maka, terwujud atau tidak, keinginan akan bermuara pada kekecewaan. Bahkan, keinginan yang terwujud justru akan berakhir pada penderitaan yang lebih besar. Kita diangkat ke atas, lalu jatuh ke bawah. Deritanya jauh lebih nyata dan bertahan lama.

   Kerap kali, gagalnya suatu keinginan adalah berkah besar dalam hidup. Kita terjatuh, namun terhindar dari peluru yang menyerang. Maka, jangan meratapi “kegagalan”. Sayangnya, kita kerap kali tak paham akan hal ini.

Terus Berubah

   Masalahnya bukan pada kenikmatan, tetapi pada ciri kenyataan yang selalu berubah. Tak ada yang tetap di alam ini. Apa yang lahir pasti harus mati. Tak ada yang lolos dari hukum abadi ini.

   Dulu, hal-hal tertentu membawa nikmat. Setelah beberapa saat, rasa itu pun pergi. Ia menjadi tawar dan hambar. Bahkan, yang nikmat dahulu menjadi jijik di saat ini.

    Tak hanya benda yang berubah. Manusia pun berubah. Pikirannya berubah. Seleranya berubah. Apa yang dulu membuatnya nikmat kini sudah lagi menyentuh hatinya.

   Mengejar kenikmatan berarti hanyut dalam turun naik kehidupan. Rasanya pasti lelah. Tak jarang, keinginan untuk mengakhiri hidup pun tampil ke depan. Ini kiranya yang menjadi sumber derita manusia jaman kini.

    Maka, kedamaian tidak didapatkan dari kenikmatan. Kedamaian dan kebahagiaan sejati lahir mengalami dunia apa adanya. Saat ke saat, semua tampak sebagaimana adanya. Rasa suka atau benci hanya menjadi latar belakang yang tak lagi bermakna.

Seluas Samudera

      Kita melebur dengan saat ini. Tak ada lagi “aku” yang terpisah dari “sekitarku”. Saat ini menjadi abadi. Ia memberikan kedamaian yang sejati.

     Batin menjadi seperti lautan. Ia tenang sekaligus menampung gemuruh ombak. Ia tetap anggun dan menerima segala. Batin menjadi seluas samudera.

    Dari keluasan samudera ini, kita bertindak. Saat-saat, ada keadaan baru muncul. Kita secara spontan menanggapi. Tak kurang, dan tak berlebihan.

     Jangan tergoda untuk menjilat madu di atas pisau tajam. Jangan jatuh ke lubang yang sama. Tetap sadar. Tetap terbuka pada segala. Seluas samudera.


Di tulis oleh Reza A.A. Wattimena ( Penulis di Rumah Filsafat )

Iklan ada di sini

Komentar

Archive

Formulir Kontak

Kirim