Mengapa Saya tidak Pernah Naik Kelas, Pak?
Pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini, suatu ketika diajukan oleh seorang anak muda kepada saya, dengan wajah yang begitu memelas dan setengah putus asa. Betapa kecewa dengan dirinya sendiri, karena entah berapa ratus sesi yang telah ia ikuti, berapa banyak kajian yang telah ia tekuni, berapa puluh ustad dan pengajian yang ia datangi, namun tak ada sedikit pun ia mengalami peningkatan ataupun perubahan dalam kehidupannya.
“Setiap kali
mendengarkan nasihat-nasihat dahsyat dari para ustad, batin saya bergejolak,
rasanya saat itu juga tekad saya menentukan, bahwa saya harus menjalankan
nasihat hebat itu dalam hidup”.
“Setiap kali
para ulama yang mulia itu menyinyiri para pendosa, orang-orang lalai dan para
perusak kehidupan, terasa tertusuk jantung saya. Rasanya sayalah orangnya
yang penuh dosa itu, dan sudah wajibnya saya harus segera memperbaiki diri”.
“Setiap kali
para penyebar ilmu dan hikmah itu menceritakan tentang kemuliaan para tokoh
utama, kebesaran figur-figur pengubah sejarah, rasa bergelora dada saya,
keinginan yang sangat kuat untuk mencapai posisi dan maqam para tokoh-tokoh
besar itu”.
Namun
selanjutnya, saat kajian selesai, saat pulang kembali, semangat dan gairah itu
terasa dingin kembali, dan rutinitas hidup saya pun berjalan seperti biasanya”.
“Betapa saya
kecewa dan benci dengan diri ini, Pak. Rasanya kualitas hidup saya tidak
pernah meningkat. Rasanya saya tidak pernah 'naik kelas' dalam kehidupan
ini. Apa memang sudah garis hidup saya untuk tampil menjadi orang biasa
dan orang awam yang tidak memiliki keistimewaan atau kebangaan apa pun terhadap
hidup saya sendiri?”
Berondongan
kegelisahan dan keluh-kesah tidak mampu mencegah keluar dari mulut anak muda
ini. Begitu resah dengan lakon yang sedang dijalani dan begitu serius ia
menggelisahi kelemahan dirinya. Kubiarkan sampai tuntas ia tumpahkan
segala ganjalan yang selama ini menyesaki belakang. Kubiarkan ia
menggerutui kekonyolan hidupnya versi dirinya sendiri. Sampai akhirnya selesai
dan lega saat semua sudah terluahkan keluar.
“Aku tidak
tahu apa definisimu tentang 'naik kelas', namun menurutku sebenarnya sudah ada
naik kelas”, demikian kalimat pertama yang mengatakan setelah beberapa saat
menunggu tanggapanku.
Sebelumnya
Anda tidak pernah perlu memikirkan tentang peningkatan kualitas diri Anda,
namun sekarang Anda akan menghadapinya. Berarti sudah mulai bergerak untuk
meningkat”.
“Sebelumnya
menyadari tidak menyadari bahwa selama ini Anda hanya stagnan saja
tidak mengalami perkembangan apa-apa, namun sekarang menyadari hal itu, itu pun
peningkatan dan peningkatan”.
“Upayamu
saat ini untuk istikamah maupun tiada jemu menelusuri dan mengikuti beragam
majelis ilmu, baik langsung di dunia nyata maupun melalui dunia maya, berarti
kelasmu saat ini yang telah naik. Banyak orang yang masih di kelas 'susah
istikamah' atau kelas 'kalau sadar ngaji, kalau malas ya prei ,
atau ada pula yang tinggal di kelas 'merasa sudah tahu' hingga merasa tak perlu
belajar dari ustad-ustad baru. Makalah bersyukur atas posisimu yang saat
ini diberikan oleh Allah itu”.
“Engkau
sudah mampu mengisi hari-harimu dengan berjihad dan mujahadah di jalan ilmu,
engkau mengisi kepalamu dengan wawasan-wawasan penuh hikmah. Bukankah itu saja
sudah menunjukkan kelasmu yang tinggi? Lihatlah, banyak sebayamu hari ini masih
gamang akan keberadaannya, sehingga sibuk mencari pengakuan dengan berlomba
merancang segala hal demi like dan viral?”
Anak muda
itu tampak termenung. “Namun yang saya maksud, pak,” katanya kemudian, “apa
gunanya segala capek lelah yang saya lakukan mengikuti kajian-kajian,
mengoleksi segala teori dan pengetahuan tentang kebenaran dan kebaikan, kalau
saya belum mampu mewujudkan dan menjalankannya?”.
“Begini,”
kataku sambil menatap wajah yang gelisah itu, “Saat engkau masih bayi dulu,
ratusan bahkan mungkin ribuan kali ayah atau ibumu mengucapkan kata ‘ayah’ atau
‘ibu’ dihadapanmu untuk ditirukan. Namun engkau yang masih bayi masih belum
mampu mengucapkannya, karena tingkat kesadaran dan kapasitas pikiranmu belum
sampai. Namun jangan dianggap yang dilakukan oleh orang tua itu sia-sia atau
tidak berguna. Rangsangan kata yang disampaikan oleh orang tua itu selama
berbulan-bulan pastilah berpengaruh kepada sang bayi, masuk ke dalam memorinya,
menanamkan banyak hal dalam otaknya. Semua orang tua meyakini hal ini dan
merasa pasti bahwa sebentar lagi dua kata itu akan muncul dari mulut anak
mereka. Sampai suatu ketika, saat yang ditunggu pun tiba, lalu terucaplah kata
‘ayah’-‘ibu’ itu dari mulut sang bayi”.
“Demikian
pula saat engkau sedang menempuh jalan ilmu. Mungkin ada yang engkau pahami,
ada yang susah kau pahami, ada pula yang sama sekali tak kau pahami. Ada yang
mampu kau wujudkan, ada yang susah payah harus kau usahakan, ada pula yang sama
sekali terlupakan. Semua itu merupakan bagian dari proses pertumbuhan yang
tidak pernah sia-sia. Tidak perlu berkecil hati atau memaksa diri, apalagi
menyiksa diri, karena belum paham atau belum mampu melakukan”.
“Tetaplah
belajar, tetaplah meniti jalan ilmu. Biarlah isi kepalamu penuh dengan ilmu dan
hikmah, sebanyak mungkin, sepenuh-penuhnya, meski ada beberapa yang terlewat
dan beberapa yang tak mungkin diperbuat; meski harus menyingkirkan banyak hal
lain dalam pikiranmu yang tidak penting; sampai akhirnya nanti segala ilmu dan
hikmah itulah yang tersisa sebagai referensimu untuk memutuskan dan melakukan
apa pun dalam kehidupan”.
“Jadi, Mas,
tidak perlu galau. Teruslah istikamah menyibukkan diri di jalan ilmu, dengan
begitu sebenarnya kelasmu sudah naik, dan bersabarlah menggembalakan prosesnya
untuk kehidupanmu, baik dalam memahami maupun mengamalkan, selangkah demi
selangkah sesuai kapasitas dan situasimu. Kelasmu pun nanti akan naik lagi,
setahap demi setahap. Selebihnya, biarkan Allah yang datang membantu
pertumbuhanmu. Percepatlah prosesnya dengan doa”.
“Baik, Pak.
Terima kasih… Boleh minta foto Pak?”.
_______________________________
Ditulis Oleh Dr. Fahruddin Faiz, M. Ag ( Pengampu Ngaji Filsafat Masjid Jenderal Sudirman)
Komentar