Perundungan Berkoedok Selebrasi

   Kalau melihat peradaban dan kebudayaan hari ini, berkebun ide-ide dan mengembangbiakkan kesadaran juga bisa diibaratkan sebagai perkebunan dan peternakan. Pola interaksi manusia dalam segala bidang yang sudah tertata sedemikan rupa, persis seperti perkebunan dan peternakan yang memiliki ekosistem regulasinya masing-masing. Ada yang fabricated (dibuat-buat), ada yang terbentuk alamiah. Misalnya demokrasi negara kita, itu termasuk kebun yang fabricated. Sedangkan kepemimpinan preman di pasar-pasar, itu termasuk kebun yang alamiah.

    Di antara segala macam bentuk kebudayaan negeri ini yang begitu luas dan kaya, saya ingin menelisik satu kebiasaan yang telah membudaya bagi penghuni negeri ini, yakni kegemaran “menyiksa” pihak lain yang sedang merayakan sesuatu. Sebut saja contohnya orang yang sedang merayakan ulang tahun dilempari telor dan tepung. Ada yang disiksa dengan diceburin kolam. Atau paling tidak dikuras isi dompetnya dengan memaksanya mentraktir teman-temannya. Padahal ia yang sedang ulang tahun yang seharusnya ditraktir.

     Selebrasi lain yang menjadi legitimasi untuk menyiksa orang lain masih ada banyak. Misalnya penerimaan murid baru, baik sekolah maupun universitas. Para murid baru yang sudah tertekan baik secara ekonomi maupun psikologis dalam menjalani kehidupanya sehari-hari masih harus ditambah siksaanya oleh para senior tanpa alasan dan tujuan yang jelas yang tidak ada dampak kontribusinya terhadap proses pendidikan mereka para murid baru itu. Hanya menciptakan rantai dendam dan pelampiasan yang bersambung. Para korban perundungan yang usia dewasanya memperoleh kekuasaan akan sangat berpotensi melampiaskan kerugian masa lalunya dengan menjadi penindas di masa dimana ia berkuasa. Maka kalau melihat para pejabat korup yang dzalim terhadap rakyat kecil, sangat kasihanlah mereka itu. Kemungkinan besar dulu waktu masih sekolah mereka sering dipukulin, dikerjain, dan disuruh-suruh macam-macam. Sehingga saya menyimpulkan, banyaknya penguasa dzalim di suatu negeri berbanding lurus dengan banyaknya anak-anak yang disiksa/dipecundangi di masa kecil dan remaja di negeri tersebut.

      Karena tidak semua orang sesakti saya. Ketika sekolahnya tawuran dengan sekolah lain, saya dengan santai berjalan ke garis pertahanan kubu lawan lalu duduk di warung dekat situ sambil minum es teh menonton mereka baku hantam dan ngobrol dengan penjaga warung. Ini adalah jurus kamuflase yang ia pelajari dari film-film action hollywood. Yakni kedekatan dengan penjaga bar bisa membuatmu tidak dianggap sebagai musuh oleh orang lain di dalam bar tersebut.

    Selebrasi (perayaan) lainnya yang tidak kalah menyiksa adalah : resepsi pernikahan. Saya belum pernah menikah, tapi ia pernah terlibat beberapa kali sebagai pihak pagar ganteng (best man) dan pihak keluarga. Ia menjadi tempat curhat temannya yang merasa tertekan karena begitu riweunya mengurus tuntutan ini itu. Hingga saya menyimpulkan bahwa sebuah resepsi pernikahan bukanlah acara untuk sepasang pengantin, melainkan sebuah acara untuk kepuasan gengsi orang tua dan mertua, khusus pada kasus teamanya itu.

    Saya sering tidak tega menyaksikan sepasang pengantin yang harus berdiri berjam-jam seperti boneka McDonald’s hanya untuk menyalami para tamu yang hadir sambil disorot lampu panggung yang silau dan panas supaya bercahaya dalam balutan make-up yang rata-rata membuat pengantin wanita justru tampak lucu. Sementara saya tahu biaya rias pengantin itu sama sekali tidak murah, terutama yang bergengsi.

     Belum lagi komentar para tamu yang mengkritik dari gaun hingga menu makanan. Padahal perayaan semacam resepsi pernikahan seharusnya menggembirakan pengantin, bukan justru menyiksa mereka baik secara fisik maupun mental.

     Saya melihat resepsi pernikahan di negeri ini sebagai bentuk perundungan massa untuk membuat pengantin tunduk pada kemauan mereka (massa). Makanan harus enak. Undangan harus bagus. Gaun harus mewah. Tempat parkir harus luas. Musik harus asik. Kalau bisa ada doorprize, atau setidaknya cendera mata yang jangan sampai murahan untuk setiap tamu yang hadir. Resepsi pernikahan mengakibatkan keersiksaan fisik, mental, sekaligus finansial. Sehingga saya tidak percaya ada yang namanya malam pertama begitu menikah. Karena pengantin pasti kecapekkan dan langsung tidur istirahat setelah resepsi.

    Perundungan secara sistemik seperti yang disebutkan di atas mungkin gambaran kecil dari karakter/kepribadian dan watak bangsa tersebut, yakni : Susah Lihat Orang Senang (SLOS). Misalnya, berapa banyak di antara kalian yang punya warung lalu dimanfaatkan oleh teman-teman kalian untuk berhutang di warung tersebut? Jangan-jangan bukan karena ia/mereka tidak punya uang untuk membayar, tapi karena ia/mereka merasa berat bila melihat usahamu lancar dan sukses.

      Sayang sekali mentalitas kepiting yang gemar menarik kawannya sendiri agar tersu terpuruk sudah menjadi karakter bangsa ini. Kok tahu? Pernah dengar pepatah “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”? Itu bisa jadi prinsip gotong royong, tapi bisa juga merupakan prinsip “tidak boleh ada yang lebih di antara kita, semua harus sama terpuruknya”.

      Maka dari ulang tahun, sampai rindu dendam pelampiasan masa remaja, hingga resepsi pernikahan, selebrasinya mengandung unsur ketidakridoan khalayak terhadap pihak-pihak yang merayakannya. Budaya timur yang satu ini kalah beradab bila dibandingkan dengan budaya barat yang lebih beradab dalam menyelenggarakan selebrasi.

     Covid hadir. Mungkin, di antara sekian banyak makna yang bisa dipetik, salah satunya adalah ter-minimalisir-nya perundungan berkedok selebrasi yang telah membudaya sekian lama.

     Besok-besok, seandainya saya diperjalankan untuk menikah, dan terpaksa mengikuti tradisi resepsi pada umumnya, dan tamu yang hadir tidak sedikit, dia akan sampaikan pada para hadirin, “kita tosss saja dari jauh tidak perlu bersalam-salaman, karena anda sekalian pasti lelah dan saya juga lelah. Jadi kita tidak perlu membuang-buang waktu, dan 90% yang hadir disini pun tidak kenal dengan kami.  Ditambah saya punya misi yang lebih penting malam ini.” Lalu menggendong pengantin wanita dan pergi meninggalkan panggung. Penuh kesan dan bergelora dan sangat manusiawi. Tidak seperti robot dan boneka yang hanya duduk, berdiri, senyum, disalam-salami sambil difoto-foto seperti objek pemandangan di Taman Safari.

Kapan kebun kehidupan menjadi alami kembali?

 

Di tulis Oleh DarthVader (Seorang Anonim di akun SymbolicID)
Iklan ada di sini

Komentar

Archive

Formulir Kontak

Kirim